header
Minggu, 03 Januari 2016
Implementasi UU Desa Butuh Kerja Sinergis
JAKARTA,
Membangun kemandirian desa dan menjadikan desa sebagai subjek
pembangunan nasional merupakan amanat penting dari UU No.6/2014 tentang
Desa. Banyak hambatan dan rintangan dihadapi, sehingga butuh kerja
sinergis antar semua elemen bangsa agar amanat UU Desa bisa terealisasi
secara utuh dan hakiki.
Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar
mengatakan, pihaknya telah mengerahkan berbagai daya upaya agar UU Desa
dapat terimplementasikan dengan maksimal. Bahakn lima aturan teknis
berupa peraturan menteri desa (Permen Desa) telah diterbitkan sebagai
panduan dalam mengawal implementasi UU Desa.
Masing-masing
Permen Desa No.1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Permen Desa No.2/2015 tentang
Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa;
Permen Desa No.3/2015 tentang Pendampingan Desa; Permen Desa No. 4/2015
tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa; dan Permen Desa No.5/2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Berbagai
upaya ini, kata Menteri Marwan, hanyalah bagian dari proses panjang
untuk memajukan desa secara hakiki. Butuh kerja bersama dan sinergis
antar elemen Pemerintah, perguruan tinggi, jajaran Pemerintah Daerah,
Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil. Gerakan nasional Desa
Membangun bisa terjebak pada jalan buntu jika program untuk desa
dijalankan dengan pendekatan yang parsial, apalagi jika semua pihak
bekerja sendiri-sendiri dengan mengedepankan ego sektoral masing-masing.
“Kita
harus menyadari bahwa implementasi UU Desa merupakan agenda besar yang
kompleks dan penuh tantangan. Kita membutuhkan kerja sama yang sinergis
antar berbagai elemen Pemerintah, perguruan tinggi, jajaran Pemerintah
Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil,” tegas Menteri
Marwan.
Kementerian
desa, lanjut Menteri Marwan, telah memetakan berbagai problem yang
harus diatasi dalam implementasi UU Desa. Sedikitnya ada enam tantangan
besar dalam implementasi UU Desa.
Pertama,
adanya fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi
pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan
mengarah pada pembelokan terhadap mandat UU Desa.
“UU
Desa tidak hanya mengamanatkan pengaturan tentang keuangan Desa yang
salah satunya diwujudkan dalam bentuk Dana Desa. Tetapi juga meliputi
pengakuan terhadap kewenangan Desa, kerja sama antar Desa, penguatan
lembaga kemasyarakatan Desa, penetapan dan pemberdayaan Desa adat,
partisipasi masyarakat Desa, dan lain-lain. Semua ini mesti
diimplementasikan secara utuh, sehingga amanat UU Desa dapat terlaksana
secara komprehensif,” tegasnya.
Kedua,
di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada
hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Di satu
sisi Dana Desa menjadi berkah bagi Desa yang seharusnya dimanfaatkan
untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa. Namun
di sisi lain Dana Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali
sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh
masyarakat.
“Akibat
itu semua, Dana Desa terkesan menimbulkan ketergantungan baru, karena
belum digunakan untuk kegiatan yang dapat menopang perekonomian
masyarakat setempat serta meningkatkan pendapatan asli Desa. Dan yang
lebih parah lagi adalah penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi
atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur.
Ketiga,
demokratisasi Desa masih menghadapi kendala praktek serba
administratif. Aparatus Pemerintah Daerah cenderung melakukan tindakan
kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk
dalam hal penggunaan Dana Desa. Padahal UU Desa telah mengakui
kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan
nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
“Di
sisi lain, demokratisasi Desa juga masih terkendala oleh lemahnya
tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat
Desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya
berperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam
rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka.”
Keempat,
proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa berhadapan dengan
realitas masyarakat perdesaan yang didominasi oleh masyarakat miskin
yang salah satu penyebabnya karena struktur penguasaan dan pemilikan
sumber-sumber agraria yang timpang. Masalah penguasaan rakyat atas tanah
dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses
pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah-masalah struktural seperti
konflik agraria, kepastian hak Desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam
mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan
pemberdayaan Desa.
Kelima,
partisipasi perempuan dalam musyawarah Desa belum tersebar luas di
Desa. Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran
perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang
berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan
hidupnya.
Keenam,
tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata ruang ala
“Pemda/Dinas PU” cenderung tidak sebangun dengan aspirasi Desa-desa.
Agregat dari pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola
kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak
jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan
tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa.
“Kompleksitas
masalah dan tantangan itu mengharuskan kita semua segera berbenah diri
dan mengambil tindakan konkrit untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan
koordinasi dan konsolidasi nasional guna menyatukan berbagai aspirasi
pihak yang ikut mengimplementasikan UU Desa,” tuntas Menteri Marwan.
Sumber
: Kemendesa.go.id - Marwan Jafar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar